koleksi foto pribadi |
Suatu hari ada yang bertanya pada saya, "Seneng banget sih, Mbak, minum kopi? Pahit ah."
Saya tersenyum, "Kopi merepresentasikan hidup saya, Pak."
"Hah? Kok bisa?"
"Iya, dong. Kopi seperti hidup saya. Campuran antara pahit dan manis, hitam dan putih. Karena itulah hidup justru terasa nikmat dan beraroma." Kata saya sok filosofis.
Dia tertawa sambil mengangguk-anggukkan kepala. Entah mudeng entah bingung.
Kesukaan saya pada kopi berimbas pada ketertarikan saya pada segala yang bernuansa kopi.
Salah satunya novel. Ketika Riawani Elyta mengeluarkan novel terbarunya dengan cover yang sangaaaatt kopiii, saya tak segan segera mengambilnya dari deretan rak buku di tobuk langganan saya.
Romantisme Kopi dalam Sebungkus "the Coffee Memory" karya Riawani Elyta
Pengemasan novel the Coffee Memory memang unik.
Jempol untuk idenya. Novel TCM dibungkus dengan kertas coklat seperti kemasan kopi, lengkap dengan tulisan "komposisi" di bagian belakang seolah memang isinya kopi. Untunglah kemasan itu tak hanya berguna sesaat untuk menarik perhatian pembaca, tetapi bagi saya yang malas menyampul buku, kemasan itu cukup berguna untuk menghindarkan novel itu dari debu setelah selesai dibaca. Sebagai pembaca yang selalu punya prinsip dulce et utile, kemasan ini sesuai dengan prinsip saya.
Novel setebal 225 + tentang penulis dan halaman promo ini mengusung tagline "What's Your Love Flavours?"
Tak hanya tentang kopi, penerbit Bentang dengan Lini Pustaka Populer-nya juga menerbitkan novel dengan tema minuman yang lain: the Chocolate Chance dan the Mint Heart. Seiring dengan maraknya caffe yang sudah menjadi gaya hidup orang Indonesia (hingga di kota kecil saya), pemilihan tema-tema ini sepertinya cukup memancing antusiasme pecinta novel, khususnya roman.
TCM bercerita tentang seorang perempuan, Dania, yang memiliki kenangan akan kopi.
Kenangan manis sekaligus pahit. Suaminya, Andro, pecinta kopi sejati, meninggal dalam sebuah kecelakaan (?). Otomatis usaha kafe yang dikelolanya pun berhenti, karena Dania tak bisa lagi menghidu aroma kopi tanpa membuat hatinya jeri. Hingga suatu hari, dengan dukungan orang tuanya dan kesetiaan karyawan kafe suaminya, Dania berusaha bangkit. Dijalankannya lagi Katjoe Manis, kafe tinggalan Andro, meski mau tak mau dia harus belajar keras, agar pelanggan tetap menemukan kopi senikmat racikan suaminya.
Sayangnya, berbagai kendala muncul.
Belum lagi adanya pesaing-pesaing baru dengan strategi bisnis yang jitu. Salah satunya adalah Redi, kakak Andro, yang membujuk Dania menjual kafenya. Kemudian datang Pram, mantan teman SMA, sekaligus mantan pacarnya.
Di tengah-tengah kebingungan itu, hadirlah sosok Barry, salah satu di antara para calon barista yang akan dipilih Dania.
Konflik memuncak saat pelanggan Katjoe Manis mulai menipis, sementara Bookafeholic milik Pram berkembang pesat. Apalagi saat Pram mulai menyabotase barista milik Katjoe Manis, membuat Dania makin kelabakan. Di balik itu semua, Pram terus berusaha membuat Dania menoleh padanya.
Dania, Pram, dan Barry, di antara aroma kopi, membuat saya memutuskan untuk terus membacanya hingga halaman terakhir.
TCM diawali dengan sebuah kotak berisi informasi tentang kopi di bagian paling atas.
Di setiap bab baru, pembaca akan selalu menemukan hal yang sama. Info tentang kopi. Riawani cukup detail dan pasti butuh referensi yang tidak sedikit hingga segala hal tentang kopi tertuang dalam novelnya. Entah mengapa, saya merasa lebih nyaman jika kotak info kopi itu diletakkan di akhir setiap bab. Mungkin karena saya tak mau diganggu saat menikmati alur ceritanya. Mungkin juga karena beberapa terlalu berbau artikel, atau di tempat lain cukup filosofis tapi kurang berima. Padahal melihat gaya tulisan Riawani, seharusnya penulis bisa melakukannya. Oke, ini memang soal selera. Maaf buat para pecinta Riawani eh ... novelnya maksud saya *emot nyengir*
Gaya penceritaan masih khas Riawani, dengan narasi yang lebih dominan daripada dialog.
Mengenai tokohnya, Pram memiliki porsi cukup banyak dan intens. Sebaliknya sosok Barry baru tampak menonjol di bagian akhir. Hanya saja, saya agak bertanya-tanya kenapa Barry tampak begitu kikuk dan canggung, terutama di hadapan Dania, padahal ternyata dia punya latar belakang yang tak biasa, juga cukup mengenal Andro di dunia maya.
Riawani juga membuat saya bertanya-tanya, bagaimana dengan kelanjutan aksi Redi? Karena tiba-tiba saja dia 'hilang', padahal di awal dia cukup punya power untuk membuat konflik memanas.
Satu pertanyaan lagi adalah penyebab kematian Andro. Saya harus mengulang beberapa kali untuk menemukannya. Apakah karena sakit/serangan jantung di sebuah resepsi pernikahan atau karena mobilnya terguling? *pada akhirnya saya memang tahu jawabannya*. (Saran pribadi: mungkin Riawani harus menyimpan dulu buku-buku Tante LH saat menulis novel roman pop *emot melet*)
Di dalam novel ini, disebut juga nama Bread Time Bakery,
yang terletak saling berdekatan dengan kafe milik Dania. Bagi pembaca setia novel Riawani, pasti langsung tahu bahwa Bread Time B adalah kafe milik Tara dalam novel Riawanai yang lain, yaitu Tarapuccino. Tren mengaitkan satu novel dengan novel yang lain, juga dilakukan oleh AliaZalea, dan yang paling terkenal tentu saja novel tulisan Ilana Tan dengan Tetralogi Empat Musimnya.
Tentang pamakaian judul kopi atau coffee saya sempat googling dan menemukan minimal 20 judul buku (novel, kumcer, antologi) yang mengusung kata kopi atau coffee. Saya akan menulis di postingan berikutnya judul-judul itu
(terinspirasi postingan Shabrina WS tentang novel yang memakai "hujan" sebagai judulnya).
Mengenai nama kafe "Katjoe Manis", karena sudah pernah diulas dalam blog milik Amerul Rezki, jadi saya tak harus mengulasnya di sini. Sekadar info bagi pembaca non etnis Jawa (khususnya Jawa Tengah), kata katjoe adalah ejaan lama, dibaca kacu yang artinya 'sapu tangan'.Jadi, maksud penulis sebenarnya adalah Kayu Manis dengan ejaan lama "Kajoe Manis".
Untuk para pembaca yang pecinta kopi, novel ini bisa jadi referensi, karena selain sisi romantis yang diusung, strategi bisnis kafe dan seluk beluk perkopian cukup detail diungkapkan dalam setiap halaman.
Jadi, selamat menikmati racikan kopi Riawani Elyta dalam sebungkus novel the Coffee Memory *kok jadi iklan*.
"Sudah ah, ngomentari novel orang melulu, gimana kabar novelmu?" *lari tunggang langgang*
Komentar
Posting Komentar
silakan berbagi komentar